Sabtu, 13 Agustus 2011

Sakura’s Cry by Jovita Agni .P

Raut wajahnya tak seperti biasanya, tersimpan hal yang misterius. “Ah..mungkin itu perasaanku saja, apa mungkin dia sedih karena tidak akan lagi bertemu denganku..”
‘Kring….Kring….’
“Oh dear.. siapa sih yang nelpon malam-malam begini?!” ungkapku sambil mengucek-ngucek mata yang masih ingin terpejamkan.
“Moshi-moshi…! Siapa ya..?”. Dengan suara yang tak karuan, namun aku berusaha tetap terjaga.
“Hai Ta, jam segini kok udah tidur.. ini aku, Yume. Besok hanami yuk ke taman Hikarigaoka!” baru kusadari, teman sekelasku sekaligus satu-satunya sahabatku di Jepang, Yume, mengajakku untuk melihat bunga sakura. Tentunya aku sangat senang sekali di liburan musim semi tahun ini aku baru diajak pergi, kesempatan ini tidak datang dua kali. Terutama bagiku yang ingin mengetahui keadaan kota Tokyo apabila bunga sakura bermekaran. Aku tidak ingin melewatkan saat bunga sakura bermekaran. Pasti sangat indah.
“Baik. Setelah aku pulang dari Baito ya, ” jawabku padanya. Di negeri sakura itu aku kerja part time sebagai pelayan restoran untuk bertahan hidup disana. Karena aku memang kesulitan soal uang. Bagi mahasiswa sepertiku tidak dapat bertahan jika hanya mengandalkan beasiswa dari pemerintah Indonesia dan Jepang. Aku kuliah di Jepang karena keberuntunganku mendapat beasiswa. Awalnya aku hanya coba-coba mendaftar di Indonesia untuk mendapatkan beasiswa  kuliah di Jepang. Dan alhasil aku dinyatakan lulus dan menimba ilmu di Jepang. Suasana di Jepang hari ini sangat cerah. Hal ini membuatku semakin semangat untuk pergi ke Todai, Tokyo daigaku tepatnya untuk menimba ilmu di universitas yang cukup terkenal ini. Awalnya aku tidak kerasan tinggal di kota yang penduduknya mengutamakan disiplin ini. Selain budaya yang agaknya berbenturan, aku tidak begitu lancar berbahasa Jepang. Apalagi jalan-jalan di Jepang menggunakan tulisan kanji dan huruf kana semua. Ini membuatku sangat bingung.

“Bunga sakura yang itu indah ya!” Yume-chan, lebih sering kupanggil Yume saja, menunjuk salah satu pohon ciri khas Jepang itu. Melihat bunga sakura di Jepang atau yang disebut dengan hanami ini ada setiap tahunnya. Pasti kota sangat ramai sekali karena disinilah semua orang berkumpul bersuka ria. Mulai dari anak kecil hingga dewasa, kakek sampai nenek pun ada. Ada yang membawa makanan, musik bahkan minum-minuman keras karena ini sudah menjadi kebiasaan mereka.
Yume adalah sahabat di Todai yang sangat dekat denganku. Dia juga baik padaku. Dia sering membantuku ketika aku mengalami kesulitan. Dia mengajariku huruf kanji, yang membuatku pusing. Yume pun sering bertanya tentang Indonesia. Dia sangat antusias untuk mendengarkan bila aku bercerita tentang Indonesia, negeriku. Yume yang berkulit putih, berbeda dengan teman-temanku yang berada di Today. Mereka melakukan segala sesuatu sendiri, sangat individualis.
“Bunga sakura itu jenis Someiyoshino, menurutku itu yang paling indah,” Yume menjelaskan sambil menunjukkan jarinya ke atas, aku pun mencari-cari dan mengikutinya.
“Aa…sou desu ne,” aku dan Yume sama-sama tersenyum. Baru kali ini aku mempunyai sahabat yang sangat baik. Dia teman yang sangat menghargaiku dan aku pun juga menghargainya. Dia tidak membeda-bedakan asal usul seseorang. Aku benar-benar merasa sangat beruntung mempunyai sahabat seperti dia.
Aku tinggal sendirian disini. Terkadang aku sangat rindu dengan ibu dan adik-adikku di rumah. Saat lapar pun terbayang masakan ibu yang ku rasa paling enak diantara semua makanan yang pernah ku makan. Udara yang tidak cocok denganku membuat aku semakin mengingat rumah.
“Sayang, lebih baik kamu ke Jepang saja.  Daripada kamu disini lebih banyak membutuhkan uang,” teringat kata-kata ibuku diwaktu yang bersamaan aku juga di terima disalah satu universitas terkemuka di Indonesia.
“Tapi, bu.. Aku takut sendirian, disana pun aku tidak ada teman.” ungkapku padanya.
“Sudahlah, kamu belajar untuk mandiri. Kesempatan ini tidak datang dua kali kan, kamu harus mencobanya.”
Akhirnya aku menuruti permintaan ibu. Dalam hatiku ini sangat berat karena harus berpisah dengan keluarga yang sangat aku sayang. Tapi kalau aku di Indonesia aku hanya akan menyusahkan ibuku saja. Biaya kuliah di Indonesia sangatlah mahal. “Andai aku jadi keluarga kaya…” pikirku.
Terdengar suara orang mengetuk pintu. Aku melamun rupanya, teringat terakhir kali bertemu ibu setahun yang lalu. Ternyata Yume yang datang, ku persilahkan dia masuk ke ruangan yang sempit ini.
“Tak lama lagi kau akan meninggalkan negaraku, kau akan pulang ke Indonesia. Sebelum kau berkemas kita jalan-jalan yuk..” pintanya padaku begitu tulus dan aku tak kuasa menolaknya.
“Kore puresento desu dozo!” ia memberikan sesuatu padaku sebuah kotak yang diselimuti kertas kado. Tak sabar aku untuk membukanya. Ternyata berisi beberapa bunga sakura yang telah diawetkan. Sangat cantik. Aku pun berterimakasih padanya.
“Arigatou gozaimasu..” terselip senyum manisku untuknya.
“Kelak kita tidak akan bertemu lagi,” ungkapnya padaku. Kelak kita memang tidak akan bertemu lagi..
“Tidak! Kita pasti akan bertemu lagi.” Kataku yakin dalam hati.
Hari itu aku jalan-jalan keliling Tokyo dengan Yume. Sangat ramai sekali dipadati pengunjung. Tak terasa sudah hampir dua belas bulan aku disini. Artinya saat untuk pulang semakin dekat. Aku harus meninggalkan kota yang membuatku jatuh cinta. Tempat dimana aku banyak belajar, mulai dari berbahasa Jepang, belajar huruf kanji sampai tradisi yang selama ini melekat.
Aku pun mengemasi barang-barang yang ada di kamar, ku atur sedemikian rupa dan kumasukkan ke koper satu demi satu supaya terlihat rapi. Kulihat hadiah yang diberikan oleh Yume waktu itu. Dan aneh, kulihat ulang bunga sakura yang diberikan oleh Yume seminggu yang lalu.
Bunga itu entah mengapa tampak berbeda. Terlihat lebih kelam dan warnanya tidak semenarik waktu itu. Dan yang membuatku heran, bunga sakura itu mengeluarkan beberapa tetes air. Aku semakin tidak mengerti, bukankah bunga tersebut sudah diawetkan. Mana mungkin. Aku melihatnya sekali lagi, dan benar, bunga itu seperti menangis, menangis. Ya Tuhan, ada apa ini?
Keherananku kemudian terhenti oleh suara Yume yang nyaring, ia masuk, kemudian membantuku tanpa berkata apa-apa. Wajahnya mengisahkan kesedihan yang mendalam, terlihat lebih misterius. Mungkin karena kami tidak akan bertemu lagi. Kalaupun bertemu, akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Desu ka?” tanyaku halus padanya. Lalu ia membenarkan poni rambutnya yang jatuh menutupi matanya.
“Aku cuma sedih kamu akan pergi. Aku tidak mempunyai sahabat baik seperti kamu lagi. Tapi, kamu harus janji. Jangan lupakan aku ya!” Ia tertunduk sedih, aku pun demikian.
“Hai..” jawabku mengiyakan permintaannya. “Tentu saja aku tidak akan melupakan semua pengalamanku di Tokyo, terutama bertemu dengan teman sepertimu, Yume. Dan kita pun saling berjanji dalam ikatan persahabatan selamanya.” Yume, seseorang yang membuatku nyaman tinggal di sini. Membuatku melupakan sejenak tentang rasa rinduku pada Ibu, adik, dan teman-temanku di Indonesia. Dan kini, aku harus kembali ke Indonesia, menyimpan semua kenangan kota indah ini.
Semua keperluan menyangkut kepulanganku ke Indonesia sudah diurus oleh pemerintah Jepang. Mulai dari administrasi hingga tiket pesawat yang jadwalnya akan berangkat siang ini. Aku pun tidak lagi bertemu dengan teman-teman sekelasku di Today setelah acara perpisahan tiga hari yang lalu, karena terlalu sibuk mengurus barang-barang yang masih berantakan.
Selama tiga hari itu Yume selalu membantuku mengemasi barang-barang. Dia sempatkan waktu untukku sepulang dari kuliah. Dan kini aku harus berterima kasih padanya atas segala sesuatu yang dia berikan untukku, persahabatan yang indah. Akhirnya semua sudah selesai, siang ini aku harus berangkat ke bandara. Namun ada satu yang belum aku selesaikan. Aku harus berterima kasih kepada Yume dan memberikan sedikit kenang-kenangan. Batik ini, batik asli budaya Indonesia. Batik yang dibelikan oleh ibuku setahun yang lalu sewaktu aku akan berangkat ke Jepang. Walaupun nyatanya hingga kini aku belum pernah memakainya.
Kutapaki jalan menuju rumah Yume dengan terburu-buru, karena siang itu juga aku harus ke bandara untuk kembali ke negeri tercintaku, Indonesia. Kucari rumahnya yang
cukup besar bercatkan kuning, aku masih ingat ketika sekali Yume mengajakku ke rumahnya, ya hanya sekali, karena aku tidak terlalu akrab dengan keluarga Yume.
Kutekan bel rumah Yume, aku tengok ke sekitar. Rumahnya terlihat sepi, kemudian seorang wanita tua menghampiriku dan menatapku penuh selidik. Mungkin karena wajah dan kulitku yang agak berbeda dengan kulit mereka.
“Sumimasen, Yumenya ada?” tanyaku padanya, sembari tersenyum hangat memberi hormat padanya.
Tiba-tiba saja raut wajahnya mendadak pucat dan tubuhnya gemetar. Suaranya menjadi parau dan terkejut melihatku.
“Mengapa kau mencari Yume?” ia kemudian keluar dari pintu dan mendekatiku. Lalu diam.
“Watashi wa Gita desu, saya teman Yume. Saya ingin memberikan ini padanya,” jawabku padanya penuh hormat sambil menunjukkan hadiah yang kubawa. Aku menjadi heran, orang tua itu langsung menangis terteguk, kemudian mengusap air matanya yang jatuh ke pipi.
“Apa kamu belum tahu, tiga hari yang lalu Yume meninggal, ia kecelakaan ketika hendak ke rumah temannya.” Ia kemudian mengelap kembali air matanya yang jatuh. Ini membuatku shock. Tiba-tiba saja kepalaku menjadi pusing, jantungku berdetak sangat kencang. Aku tidak percaya. Ini tidak mungkin, benar-benar tidak mungkin. Tiga hari yang lalu Yume membantuku mengemasi barang. Tidak mungkin!
Seluruh tubuhku terasa kaku mendengar hal itu. Kutanya nenek itu sekali lagi, dan ia mempersilahkanku untuk masuk. Mendapati kenangan terakhir yang Yume tinggalkan, hatiku sangat tersentuh. Aku ceritakan kepada ibu Yume bahwa selama tiga hari itu aku bertemu dengan beliau. Bahkan kita masih bercanda tawa saat itu. Beliau hanya tersenyum miris melihatku.
“Tidak mungkin, Yume sudah meninggal semenjak tiga hari yang lalu.”
Bulu kudukku merinding. Serasa badanku mendadak lemas dan wajahku pun pucat. Lalu, siapa yang datang ke kontrakanku? Bukankah itu Yume?
Di pesawat, aku hanya terdiam, melamun. Sungguh tidak percaya. Aku ingat, tiga hari yang lalu, Yume datang membantuku. Aku sangat yakin, itu Yume. Kubuka hadiah yang diberikannya untukku waktu itu. Bunga sakura. Perlahan-lahan kubuka kotak kecil itu, aku kembali tersentak. Bunga itu kembali seperti semula, sangat indah, seperti pertama kali Yume berikan padaku.
Aku semakin tidak mengerti. Tiga hari yang lalu… Aku menangis pilu melihatnya. Karena wajahnya yang menunjukkan kekecewaan untuk kenyataan aku akan pulang.
“Yume, aku akan terus mengenangmu.  Kau sahabat terbaik dan terhebat yang aku kenal selama ini. Kau cantik tidak hanya parasmu, hatimu pun juga. Bunga ini tersenyum kembali, menunjukkan bahwa kau bahagia di sana. Dan aku yakin, bunga ini tak ‘kan bersedih dan menangis lagi karena kehilanganmu....”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Sabtu, 13 Agustus 2011

Sakura’s Cry by Jovita Agni .P

Raut wajahnya tak seperti biasanya, tersimpan hal yang misterius. “Ah..mungkin itu perasaanku saja, apa mungkin dia sedih karena tidak akan lagi bertemu denganku..”
‘Kring….Kring….’
“Oh dear.. siapa sih yang nelpon malam-malam begini?!” ungkapku sambil mengucek-ngucek mata yang masih ingin terpejamkan.
“Moshi-moshi…! Siapa ya..?”. Dengan suara yang tak karuan, namun aku berusaha tetap terjaga.
“Hai Ta, jam segini kok udah tidur.. ini aku, Yume. Besok hanami yuk ke taman Hikarigaoka!” baru kusadari, teman sekelasku sekaligus satu-satunya sahabatku di Jepang, Yume, mengajakku untuk melihat bunga sakura. Tentunya aku sangat senang sekali di liburan musim semi tahun ini aku baru diajak pergi, kesempatan ini tidak datang dua kali. Terutama bagiku yang ingin mengetahui keadaan kota Tokyo apabila bunga sakura bermekaran. Aku tidak ingin melewatkan saat bunga sakura bermekaran. Pasti sangat indah.
“Baik. Setelah aku pulang dari Baito ya, ” jawabku padanya. Di negeri sakura itu aku kerja part time sebagai pelayan restoran untuk bertahan hidup disana. Karena aku memang kesulitan soal uang. Bagi mahasiswa sepertiku tidak dapat bertahan jika hanya mengandalkan beasiswa dari pemerintah Indonesia dan Jepang. Aku kuliah di Jepang karena keberuntunganku mendapat beasiswa. Awalnya aku hanya coba-coba mendaftar di Indonesia untuk mendapatkan beasiswa  kuliah di Jepang. Dan alhasil aku dinyatakan lulus dan menimba ilmu di Jepang. Suasana di Jepang hari ini sangat cerah. Hal ini membuatku semakin semangat untuk pergi ke Todai, Tokyo daigaku tepatnya untuk menimba ilmu di universitas yang cukup terkenal ini. Awalnya aku tidak kerasan tinggal di kota yang penduduknya mengutamakan disiplin ini. Selain budaya yang agaknya berbenturan, aku tidak begitu lancar berbahasa Jepang. Apalagi jalan-jalan di Jepang menggunakan tulisan kanji dan huruf kana semua. Ini membuatku sangat bingung.

“Bunga sakura yang itu indah ya!” Yume-chan, lebih sering kupanggil Yume saja, menunjuk salah satu pohon ciri khas Jepang itu. Melihat bunga sakura di Jepang atau yang disebut dengan hanami ini ada setiap tahunnya. Pasti kota sangat ramai sekali karena disinilah semua orang berkumpul bersuka ria. Mulai dari anak kecil hingga dewasa, kakek sampai nenek pun ada. Ada yang membawa makanan, musik bahkan minum-minuman keras karena ini sudah menjadi kebiasaan mereka.
Yume adalah sahabat di Todai yang sangat dekat denganku. Dia juga baik padaku. Dia sering membantuku ketika aku mengalami kesulitan. Dia mengajariku huruf kanji, yang membuatku pusing. Yume pun sering bertanya tentang Indonesia. Dia sangat antusias untuk mendengarkan bila aku bercerita tentang Indonesia, negeriku. Yume yang berkulit putih, berbeda dengan teman-temanku yang berada di Today. Mereka melakukan segala sesuatu sendiri, sangat individualis.
“Bunga sakura itu jenis Someiyoshino, menurutku itu yang paling indah,” Yume menjelaskan sambil menunjukkan jarinya ke atas, aku pun mencari-cari dan mengikutinya.
“Aa…sou desu ne,” aku dan Yume sama-sama tersenyum. Baru kali ini aku mempunyai sahabat yang sangat baik. Dia teman yang sangat menghargaiku dan aku pun juga menghargainya. Dia tidak membeda-bedakan asal usul seseorang. Aku benar-benar merasa sangat beruntung mempunyai sahabat seperti dia.
Aku tinggal sendirian disini. Terkadang aku sangat rindu dengan ibu dan adik-adikku di rumah. Saat lapar pun terbayang masakan ibu yang ku rasa paling enak diantara semua makanan yang pernah ku makan. Udara yang tidak cocok denganku membuat aku semakin mengingat rumah.
“Sayang, lebih baik kamu ke Jepang saja.  Daripada kamu disini lebih banyak membutuhkan uang,” teringat kata-kata ibuku diwaktu yang bersamaan aku juga di terima disalah satu universitas terkemuka di Indonesia.
“Tapi, bu.. Aku takut sendirian, disana pun aku tidak ada teman.” ungkapku padanya.
“Sudahlah, kamu belajar untuk mandiri. Kesempatan ini tidak datang dua kali kan, kamu harus mencobanya.”
Akhirnya aku menuruti permintaan ibu. Dalam hatiku ini sangat berat karena harus berpisah dengan keluarga yang sangat aku sayang. Tapi kalau aku di Indonesia aku hanya akan menyusahkan ibuku saja. Biaya kuliah di Indonesia sangatlah mahal. “Andai aku jadi keluarga kaya…” pikirku.
Terdengar suara orang mengetuk pintu. Aku melamun rupanya, teringat terakhir kali bertemu ibu setahun yang lalu. Ternyata Yume yang datang, ku persilahkan dia masuk ke ruangan yang sempit ini.
“Tak lama lagi kau akan meninggalkan negaraku, kau akan pulang ke Indonesia. Sebelum kau berkemas kita jalan-jalan yuk..” pintanya padaku begitu tulus dan aku tak kuasa menolaknya.
“Kore puresento desu dozo!” ia memberikan sesuatu padaku sebuah kotak yang diselimuti kertas kado. Tak sabar aku untuk membukanya. Ternyata berisi beberapa bunga sakura yang telah diawetkan. Sangat cantik. Aku pun berterimakasih padanya.
“Arigatou gozaimasu..” terselip senyum manisku untuknya.
“Kelak kita tidak akan bertemu lagi,” ungkapnya padaku. Kelak kita memang tidak akan bertemu lagi..
“Tidak! Kita pasti akan bertemu lagi.” Kataku yakin dalam hati.
Hari itu aku jalan-jalan keliling Tokyo dengan Yume. Sangat ramai sekali dipadati pengunjung. Tak terasa sudah hampir dua belas bulan aku disini. Artinya saat untuk pulang semakin dekat. Aku harus meninggalkan kota yang membuatku jatuh cinta. Tempat dimana aku banyak belajar, mulai dari berbahasa Jepang, belajar huruf kanji sampai tradisi yang selama ini melekat.
Aku pun mengemasi barang-barang yang ada di kamar, ku atur sedemikian rupa dan kumasukkan ke koper satu demi satu supaya terlihat rapi. Kulihat hadiah yang diberikan oleh Yume waktu itu. Dan aneh, kulihat ulang bunga sakura yang diberikan oleh Yume seminggu yang lalu.
Bunga itu entah mengapa tampak berbeda. Terlihat lebih kelam dan warnanya tidak semenarik waktu itu. Dan yang membuatku heran, bunga sakura itu mengeluarkan beberapa tetes air. Aku semakin tidak mengerti, bukankah bunga tersebut sudah diawetkan. Mana mungkin. Aku melihatnya sekali lagi, dan benar, bunga itu seperti menangis, menangis. Ya Tuhan, ada apa ini?
Keherananku kemudian terhenti oleh suara Yume yang nyaring, ia masuk, kemudian membantuku tanpa berkata apa-apa. Wajahnya mengisahkan kesedihan yang mendalam, terlihat lebih misterius. Mungkin karena kami tidak akan bertemu lagi. Kalaupun bertemu, akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Desu ka?” tanyaku halus padanya. Lalu ia membenarkan poni rambutnya yang jatuh menutupi matanya.
“Aku cuma sedih kamu akan pergi. Aku tidak mempunyai sahabat baik seperti kamu lagi. Tapi, kamu harus janji. Jangan lupakan aku ya!” Ia tertunduk sedih, aku pun demikian.
“Hai..” jawabku mengiyakan permintaannya. “Tentu saja aku tidak akan melupakan semua pengalamanku di Tokyo, terutama bertemu dengan teman sepertimu, Yume. Dan kita pun saling berjanji dalam ikatan persahabatan selamanya.” Yume, seseorang yang membuatku nyaman tinggal di sini. Membuatku melupakan sejenak tentang rasa rinduku pada Ibu, adik, dan teman-temanku di Indonesia. Dan kini, aku harus kembali ke Indonesia, menyimpan semua kenangan kota indah ini.
Semua keperluan menyangkut kepulanganku ke Indonesia sudah diurus oleh pemerintah Jepang. Mulai dari administrasi hingga tiket pesawat yang jadwalnya akan berangkat siang ini. Aku pun tidak lagi bertemu dengan teman-teman sekelasku di Today setelah acara perpisahan tiga hari yang lalu, karena terlalu sibuk mengurus barang-barang yang masih berantakan.
Selama tiga hari itu Yume selalu membantuku mengemasi barang-barang. Dia sempatkan waktu untukku sepulang dari kuliah. Dan kini aku harus berterima kasih padanya atas segala sesuatu yang dia berikan untukku, persahabatan yang indah. Akhirnya semua sudah selesai, siang ini aku harus berangkat ke bandara. Namun ada satu yang belum aku selesaikan. Aku harus berterima kasih kepada Yume dan memberikan sedikit kenang-kenangan. Batik ini, batik asli budaya Indonesia. Batik yang dibelikan oleh ibuku setahun yang lalu sewaktu aku akan berangkat ke Jepang. Walaupun nyatanya hingga kini aku belum pernah memakainya.
Kutapaki jalan menuju rumah Yume dengan terburu-buru, karena siang itu juga aku harus ke bandara untuk kembali ke negeri tercintaku, Indonesia. Kucari rumahnya yang
cukup besar bercatkan kuning, aku masih ingat ketika sekali Yume mengajakku ke rumahnya, ya hanya sekali, karena aku tidak terlalu akrab dengan keluarga Yume.
Kutekan bel rumah Yume, aku tengok ke sekitar. Rumahnya terlihat sepi, kemudian seorang wanita tua menghampiriku dan menatapku penuh selidik. Mungkin karena wajah dan kulitku yang agak berbeda dengan kulit mereka.
“Sumimasen, Yumenya ada?” tanyaku padanya, sembari tersenyum hangat memberi hormat padanya.
Tiba-tiba saja raut wajahnya mendadak pucat dan tubuhnya gemetar. Suaranya menjadi parau dan terkejut melihatku.
“Mengapa kau mencari Yume?” ia kemudian keluar dari pintu dan mendekatiku. Lalu diam.
“Watashi wa Gita desu, saya teman Yume. Saya ingin memberikan ini padanya,” jawabku padanya penuh hormat sambil menunjukkan hadiah yang kubawa. Aku menjadi heran, orang tua itu langsung menangis terteguk, kemudian mengusap air matanya yang jatuh ke pipi.
“Apa kamu belum tahu, tiga hari yang lalu Yume meninggal, ia kecelakaan ketika hendak ke rumah temannya.” Ia kemudian mengelap kembali air matanya yang jatuh. Ini membuatku shock. Tiba-tiba saja kepalaku menjadi pusing, jantungku berdetak sangat kencang. Aku tidak percaya. Ini tidak mungkin, benar-benar tidak mungkin. Tiga hari yang lalu Yume membantuku mengemasi barang. Tidak mungkin!
Seluruh tubuhku terasa kaku mendengar hal itu. Kutanya nenek itu sekali lagi, dan ia mempersilahkanku untuk masuk. Mendapati kenangan terakhir yang Yume tinggalkan, hatiku sangat tersentuh. Aku ceritakan kepada ibu Yume bahwa selama tiga hari itu aku bertemu dengan beliau. Bahkan kita masih bercanda tawa saat itu. Beliau hanya tersenyum miris melihatku.
“Tidak mungkin, Yume sudah meninggal semenjak tiga hari yang lalu.”
Bulu kudukku merinding. Serasa badanku mendadak lemas dan wajahku pun pucat. Lalu, siapa yang datang ke kontrakanku? Bukankah itu Yume?
Di pesawat, aku hanya terdiam, melamun. Sungguh tidak percaya. Aku ingat, tiga hari yang lalu, Yume datang membantuku. Aku sangat yakin, itu Yume. Kubuka hadiah yang diberikannya untukku waktu itu. Bunga sakura. Perlahan-lahan kubuka kotak kecil itu, aku kembali tersentak. Bunga itu kembali seperti semula, sangat indah, seperti pertama kali Yume berikan padaku.
Aku semakin tidak mengerti. Tiga hari yang lalu… Aku menangis pilu melihatnya. Karena wajahnya yang menunjukkan kekecewaan untuk kenyataan aku akan pulang.
“Yume, aku akan terus mengenangmu.  Kau sahabat terbaik dan terhebat yang aku kenal selama ini. Kau cantik tidak hanya parasmu, hatimu pun juga. Bunga ini tersenyum kembali, menunjukkan bahwa kau bahagia di sana. Dan aku yakin, bunga ini tak ‘kan bersedih dan menangis lagi karena kehilanganmu....”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar